Contoh Analisis Nilai Karakter Cerpen

Cerpen adalah cerita pendek yang merupakan hasil dari penalaran pengarang atas fenomena sekitar atau bahkan pengalaman pribadi. Dalam sebuah cerpen terdapat banyak unsur yang bisa dianalisis. Salah satu hal yang biasa dianalisis dalam sebuah cerpen adalah nilai karakternya. Adapun tujuan adari analisis nilai karakter cerpen adalah agar amanat dari cerpen tersebut lebih mudah tersampaikan kepada pembaca. Berikut contoh analisis nilai karakter pada cerpen berjudul"Kacau".

Kacau



Burung-burung kembali ke sangkar dan sang terikpun mulai melangkah mundur. Tampak dua bayangan kecil dari balik sesemakan di belakang rumah tua. Tampak pula lelaki setengah baya berteriak-teriak di depan rumah tua itu, ” Nala...Nala... ,kamu di mana? Ayo pulang! Kamu harus mandi, sudah sore!” Sementara di balik sesemakan tadi terdengar langkah kaki yang halus dan kemersak dedaunan kering yang terinjak, pula bisikan-bisikan halus dari dua mulut mungil yang belepotan, ”Ssssttt...ayahku ada di depan,” bisik seorang gadis kecil berkucir dua pada teman laki-lakinya, dan temannya itu hanya mengangguk sambil membuntutinya dari belakang. Dan tiba-tiba...Gubrakkk!!!???? Gadis kecil itu terjatuh dan teman laki-lakinya sudah kabur entah kemana. Lalu tubuhnya menjadi gemetar saat tahu siapa yang ada didepannya itu, ”A...aa..aaayah..” Dan lelaki yang dipanggil ayah tadi menarik tangan gadis itu ”Ayo pulang! Kamu kan belum sholat kenapa tidak cepat pulang? Mau jadi apa kamu? Umurmu itu sudah 9 tahun.” Nala hanya menunduk sesal sambil membendung air matanya yang hampir tumpah. Bukan karena genggaman itu sakit, tapi ia benar-benar takut jika Ayahnya mengamuk seperti ini, namun tiba-tiba ayahnya melepas genggaman di tangannya, dan Nalapun mendongak untuk melihat apa yang terjadi, dan ternyata tampak suami istri dan anak laki-lakinya yang mungkin seumuran dengan Nala keluar dari mobil . ”Assalamualaikum, Pak Asnawi!”  Sapa lelaki itu sambil memeluk tubuh ayah Nala, adapun ayah  Nala memberi kode kepada Nala untuk bersalaman dengan mereka. ‘’La kamu pulang dulu, langsung sholat ya!” ucap Pak Asnawi. Nalapun berlari menuju rumahnya, namun, sesekali ia menoleh dan menatap lamat-lamat anak lelaki di tepi mobil itu. Rasanya itu bukan wajah yang asing baginya.
***

 “Nala..........Nala.........main yuk!” Suara lelaki kecil menggema di seantero rumah Nala. Ia hafal mati suara ini, siapa lagi kalau bukan Ali, teman mainnya yang sekaligus saudara sepupunya. Belum sempat Nala beranjak dari kasurnya, sudah terdengar suara Ayah menimpali.  “Nala tidur siang, mainnya nanti sore aja ya!”
“Aduh om padahal aku mau ngenalin Nala sama teman baru aku. Ya udah deh om aku pulang dulu ya, Assalamualaikum!”
 “Waalaikumsalam,” Hampir saja Ali berbalik, Nala sudah mengejarnya.
“Lho kok?” Ali linglung.
 ‘’Santai aja dong liatnya, nanti aku colok nih mata kamu,” Sahut Nala sambil meringis.
 “Habisnya kamu ngagetin aku sih, terus om Asnawi gimana?” tanya Ali takut.
“Aman,” sahutnya santai.
“ Oke, kalau gitu cepetan ikut aku!” Tanpa menunggu jawaban lagi, Ali langsung menariknya sambil berlari.
“Jawab aku cepet, kita mau kemana?”
“Udah sampe.”
“ Di sini? Rumah tua ini? Ngapain?”
“Udah deh gak usah banyak tanya, aku mau ngasih tau kamu kalau kita punya tetangga baru.”
“Itu aja?”
“Masalahnya tetangga kita itu anak SD 2.”
“Terus kenapa?”
“Kamu nyebelin banget sih nanyanya, aku itu penasaran sama rumor yang bilang kalau SD itu pake dukun buat menang sepakbola ngelawan madrasah kita”
“Ya udah kalau gitu kita temenan aja sama dia, biar semuanya jelas,” ucapnya datar. Karena ia merasa bahwa itu hanya sindiran sengit antar cewek yang gak pernah terima kalau sekolahnya kalah. Ya, itu adalah kebiasaan anak perempuan SD dan MI yang gak terima kalau sekolah mereka kalah dalam pertandingan sepakbola kecamatan. Yang kalah akan selalu memaki sambil terus meneriaki si pemenang pake dukun. Itulah tradisi yang sudah terjadi bertahun-tahun. Hal itu terjadi tepat setelah pertandingan usai, selalu saja terjadi adu mulut dan yang selalu menjadi paling buruk adalah anak SD dan MI.  Mungkin teman-temannya bersungut-sungut dengan muka merah, tapi Nala sama sekali tak perduli dengan pertandingan itu, ia pernah ikut terlibat  persengitan itu, dengan mengucap kata-kata yang telak,  “MI pake dukun, tapi dukunnya itu washilah doa bersama, dijamin deh manjur.” Baginya kalah menang hanya soal keberuntungan dan yang terpenting adalah hari itu ia bebas dari tugas sekolah dan bisa menikmati udara segar lapangan kecamatan sembari menikmati jajanan yang dijual oleh pedagang asongan yang berderet di tepi lapangan.
“NAYLA AZIMATUL ULYA....KAMU TAU GAK SIH DARI TADI AKU NGOMONG “ Ali meneriakinya sekencang-kencangnya.
“Maaf,” Sekali lagi ia meringis.
“Eh tunggu, siapa yang tinggal dirumah tua ini?”
“Ini nih tetangga baru kita.” Ali menunjuk ke arah anak laki laki dengan kemeja kotak-kotak.
“Kula Alif, sampeyan sinten?” (Aku Alif, kamu siapa?-ini bahasa jawa halus yang seharusnya digunakan oleh anak muda untuk berbicara kepada orang yang lebih tua.)
Ia hanya mengangguk tanpa berucap sedikitpun. Gaya bicara Alif yang sopan membuatnya tersanjung. Baru kali ini ia melihat anak laki-laki berbicara dengan bahasa jawa krama sefasih ini.
“Nnnayla, tapi biasa dipanggil Nala.”
***
“Gimana nih Al, TV dirumahku mati nih, padahal hari ini ada Ice Age. Boleh gak aku nonton dirumah kamu?” tanya Nala .
“Gak,” jawab Ali cepat. Memecahkan harap yang semula muncul di mata Nala.
“sekali ini aja ya? ya?”
“Gak boleh! Ibuku lagi nonton sinetron, lebih baik kita main bola aja deh!”
“Yah..” Nala mendengus sebal dan dengan terpaksa melangkahkan kakinya yang berat.
“Ayo....!” Namun langkahnya tiba-tiba terhenti di depan rumah tua itu, lalu ia melonjak girang. “Di rumah ini ada yang nonton Ice Age, gabung yuk!” Ali hanya menggeleng dan tetap melanjutkan langkahnya, tapi Nala menahannya dan menimbulkan keributan di sana. Sampai akhirnya, Alif keluar dan tersenyum kikuk. “Hai?” Tanpa menjawab sapaan dari Alif, Nala langsung menyatakan keinginannya untuk ikut nonton Ice Age di rumah itu. Lalu dengan ramah, Alif mempersilahkan mereka masuk ke rumahnya yang hari itu memang sedang kosong, karena orang tuanya sedang menjenguk neneknya di desa sebelah.  Nah, mulai dari situlah Nala mengenal sosok Alif yang ternyata enak diajak bicara dan memiliki banyak kesamaan dengannya, tapi sedikit lebih dewasa.  Alif menyukai ilalang seperti ia menyukainya, Alif menyukai hujan seperti ia menyukainya, dan bahkan Alifpun merasa senang mendapatkan teman baru, sehingga merekapun merencanakan segudang aktivitas bersama yang menandakan adanya peluang untuk lebih dekat. Dan hari itu ia dan Ali menuntaskan sore di rumah Alif hingga maghrib benar-benar dikumandangkan, sontak hal itu membuatnya takut. Takut, karena ia tahu ayahnya akan benar-benar marah melihat anak perempuannya masih di luar jam segini, ditambah lagi, ia belum mandi. Habislah ia. Belum sempat ia berpikir lebih jauh pintu rumah itu sudah terketuk. Sekejap, Alifpun memanggilnya dan mengatakan bahwa ayahnya sedang mencarinya. Aduh........
***
Bel sekolah menggema di udara. Mengukir senyum disetiap bibir mungil yang mulai lelah. Semua siswa berhamburan keluar dari kelas-kelas, mereka terlalu riang untuk mengakhiri pelajaran hari ini. Namun senyum mereka pudar ketika rintik-rintik kecil mulai turun. Bahkan ada yang memaki,  karena dengan terpaksa  menepi. saat itu sebagian penghuni sekolah gelisah, namun Nala berbeda. Ia sangat menyukai hujan apalagi aroma tanah yang basah, rasanya sangat mendamaikan. Rasanya setiap tetes demi tetes air hujan justru seperti lantunan musik baginya dan,  bahkan hujan yang semakin deras justru menantangnya untuk segera menerjangnya. Eh ... tunggu, serasa ada manusia disana. Itu kan Alif, apa yang sedang dilakukannya di gubug, padang ilalang itu. Ya tuhan apa ia tak salah lihat, bukankah Alif sedang menangis. Dengan langkah gamang, ia paksa kakinya untuk menghampiri Alif. Lalu ditatapnya mata yang berkaca-kaca itu. “kamu kenapa?” tanyanya polos, sampai 3 kali ia menanyakan hal yang sama namun tak sepatah katapun keluar dari mulut mungil itu, yang terdengar hanya tangisan yang kian lama kian terisak. “Alif, kamu boleh kok nangis sepuas-puasnya, tapi setelah ini kamu gak boleh sedih lagi ya!” ucap Nala sambil memaksa Alif  untuk turun dari gubug dan menikmati hujan. “Apa sih la?” Alif mendengus sebal, tapi ia tak perduli meskipun Alif terus memberontak. “lif, dengerin aku! Ketika kamu merasakan air-air membasahi wajahmu, gak akan ada orang yang tahu kamu sedang menangis. Dan percaya deh kalau bajumu udah mulai kuyup air matamu sudah hilang bersama kesedihanmu yang larut bersama air. ” lalu ia menyodorkan perahu kertas kepada Alif. “Nih, aku punya banyak diranselku. Main balapan perahu yuk!”. Lama kelamaan Alif berhasil melupakan kesedihannya , bahkan Alif mulai tenang dan menceritakan masalahnya yaitu Alif merasa ibunya sudah tidak menyayanginya lagi, setiap pulang kerumah hanya marah-marah dan bertengkar dengan ayahnya. Pernah suatu ketika ibunya membentaknya hanya karena bersiap-siap terlalu lama. Dan yang paling membuatnya sedih adalah akhir-akhir ini ibunya jarang pulang. Sungguh Alif terlalu kecil untuk mengalaminya meski ia sudah memahaminya sejauh ini. “Apa ibuku ingin cerai dengan ayah” ucapnya mengagetkan Nala, namun ia tak bisa berkata apapun karena apa yang ada dipikirannya sama dengan pikiran Alif.
 “la kamu dengerkan apa yang aku omongin?”
“ehm... eh denger kok. Ngomong-ngomong benar gak sih kalau SD 2 pake dukun buat menang sepakbola ?”
Mendengar itu Alif ngakak, “ kamu percaya la sama rumor itu, lucu deh”
“yah, sebenernya enggak sih tapi , kok SDmu selalu menang ya”
“Ya Allah la, aku juga tau pake dukun itu dosa. Anak-anak cewek aja yang kebanyakan nonton sinetron”  mendengar itu Nala hanya tersenyum kikuk.
***
Sejak acara hujan-hujanan itu , teman main Nala bertambah. Dan hari-harinya menjadi lebih  seru dengan cerita-cerita yang semakin panjang. Namun , itu semua tak berlangsung lama karena Alif  tiba-tiba menjauhinya dan Ali, entah dengan alasan apa ia benar-benar tak tahu. Bahkan sudah tiga kali Nala dan Ali datang kerumah Alif, namun jawabannya selalu sama, Alif tak mau keluar kamar dan selalu ayahnya yang membuka pintu. Hingga suatu hari aku melihatnya termenung di depan rumah. “Hai, lif” sapaku , namun ia tak melihatku sama sekali dan langsung masuk rumah. Rasanya sesak sekali, air matanya tumpah tanpa tahu di mana ia berdiri. Ia selalu tak kuat untuk diabaikan, apalagi oleh teman barunya yang mulai ia sayangi. Ini berat, ia terlalu mudah membagi sayang tapi selalu kesulitan mendapatkan kasih sayang. Tapi setidaknya ia lebih beruntung karena memiliki orang tua yang meskipun galak tapi selalu menyayanginya.
***
Malam itu Nala mendengar semuanya, kebenaran tentang keluarga Alif. Karena malam itu ayah alif datang dan menceritakan semuanya pada ayah. Ternyata ibu Alif bukanlah tipe orang yang bisa diajak hidup sederhana, sementara ayahnya sedang mengalami krisis ekonomi dan kurang mampu memenuhi tuntutan istri, padahal si istri selalu marah jika inginnya tak terpenuhi, selain itu ternyata si istri bertemu dengan mantannya di SMA yang ternyata sudah menjadi pengusaha sukses. Jadi, si istri lebih memilih untuk meninggalkan anak dan suaminya demi harta yang diingininya. Dan mereka sudah bercerai tanpa sepengetahuan Alif , ditambah lagi Alif yang berubah menjadi anak pendiam yang tak bisa berbicara dengan siapapun membuat ayahnya berpikir untuk mencari pasangan lagi. Tapi ternyata hal itu memperparah keadaan, ayahnya Alif masuk kejalan yang salah karena sebentar lagi ia akan masuk SMP, yang mana pergaulannya lebih keras dari SD.
***
Sore ini, Nala pergi kerumah Alif, tapi kali ini ada yang berbeda karena bukan ayahnya lagi yang membukakan pintu melainkan seorang wanita setengah baya, yang parasnya sangat anggun dan sepertinya ialah wanita yang sangat lembut dan keibuan. Apakah benar ini ibu baru Alif, pikirnya.
“Kamu mau coba kue tante gak, tadi tante iseng-iseng buat nih”
“ makasih tante, wah enak banget , aku gak pernah makan yang kayak kue seenak ini nih tante”
“Ah, kamu lo berlebihan”
“beneran kok, eh Alifnya mana tante”
“Oh ya , maaf soalnya Alif lagi jalan-jalan kayaknya”
“Jalan-jalan?sama siapa?”
“entah”
***
“ Ternyata kamu masih suka kesini ya?”
“Nala....”
“Kenapa sih Lif? Kenapa kamu menjauhiku dan Ali? Kami udah tahu semuannya, kamu harusnya bisa dong cerita sama kita kalau ada masalah. Jangan malah menghindar seperti ini!”
“Aku lagi pengen sendiri, kamu udah selesai kan ngomongnya dan sekarang kamu bisa pergi.”
“Kamu jangan jahat gini dong ! Lif , aku ini temen kamu dan aku gak mau kamu terus seperti ini.”
“Aku udah bilang ya la , aku lagi pengen sendiri. Aku gak butuh kamu atau siapapun untuk hibur aku sekarang .”
“Aku benci sama kamu . Aku benci sama kamu,lif! Okey kalau itu mau kamu aku gak bakal nemui kamu lagi . mulai sekarang kamu bukan temen aku”
“La....”
***
Esoknya Alif datang kerumah Nala sekadar untuk eminta maaf, namun ternyata anak itu sudah menghilang entah kemana. Alif menyusuri sepanjang padang ilalang namun tak menemuinya, sesalpun datang menggelayuti tubuhnya. Ia menyesal karena telah berkata kasar pada teman terbaiknya itu, ia menyesal karena emosinya saat itu membuatnya tak bisa memperbaiki keadaan dan malah menghancurkan semuanya. Pikirannya kacau saat ini, membuatnya siap menyemprot siapa saja yang datang.
“Ya Allah apakah saat ini sudah terlalu terlambat untuk meminta maaf” teriaknya penuh emosi.  Tiba -tiba terdengar suara Nala disana.
“Gak pernah ada kata terlambat untuk meminta maaf, sekalipun terlambat itu lebih baik kan dari pada tidak sama sekali”
“la.....”
“ Aku udah maafin kamu kok, justru aku yang harusnya minta maaf karena terlalu gegabah mengambil sikap. Padahal saat itu kamu sedang drop, maaf ya...”
“Ya, la...jadi kita masih temenan kan!”
Nala mengangguk sambil menyunggingkan senyum termanisnya.
_ _ _



ANALISIS NILAI KARAKTER PADA CERPEN
Keagamaan
Dan lelaki yang dipanggil ayah tadi menarik tangan gadis itu ”Ayo pulang! Kamu kan belum sholat kenapa tidak cepat pulang? Mau jadi apa kamu? Umurmu itu sudah 9 tahun.”
Shalat adalah ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat, oleh karenanya ibadah tersebut harus dibiasakan sejak anak-anak. Agar ketika nanti mereka dewasa dan amalannya mulai dihitung mereka sudah terbiasa menjalankan sholat.
Kedewasaan
Baginya kalah menang hanya soal keberuntungan...
Sebagai seorang anak berusia 9 tahun memiliki pemikiran seperti ini adalah sebuah kedewasaan. Karena dia bisa menerima fakta bahwa sepakbola hanya sebatas permainan yang wajar apabila terkadang kekalahan atau kemenangan memihak dan sekali lagi benar pemikiran Nala bahwa itu hanya soal keberuntungan.
Sopan Santun
 “Kula Alif, sampeyan sinten?” (Aku Alif, kamu siapa?-ini bahasa jawa halus yang seharusnya digunakan oleh anak muda untuk berbicara kepada orang yang lebih tua.)
Disini Alif menggunakan bahasa jawa halus yang seharusnya digunakan anak muda kepada orang tua, ini menunjukkan bahwa dia sangat sopan dalam bertutur dengan orang lain.
Kedisiplinan
Takut, karena ia tahu ayahnya akan benar-benar marah melihat anak perempuannya masih di luar jam segini, ditambah lagi, ia belum mandi. Habislah ia. Belum sempat ia berpikir lebih jauh pintu rumah itu sudah terketuk.
Kedisiplinan adalah salah satu kunci dari sebuah kesuksesan, jadi nilai-nilai dari kesuksesan itu harus diterapkan secara tegas kepada anak, agar anak itu takut untuk melanggar kedisiplinan itu.
Keramahan
Lalu dengan ramah, Alif mempersilahkan mereka masuk ke rumahnya yang hari itu memang sedang kosong,...
Disini seorang Alif menunjukkan keramahannya kepada tetangga barunya dengan mengijinkan mereka bersilaturrahmi walaupun sebenarnya ia juga sedang asyik sendiri dengan televisinya.
Pemaaf
Aku udah maafin kamu kok, justru aku yang harusnya minta maaf karena terlalu gegabah mengambil sikap. Padahal saat itu kamu sedang drop, maaf ya...”
Memafkan bukan berarti salah dan kalah , justru itu adalah pertanda bahwa kitalah yang berhati lapang. Namun, jika merasa berat untuk memaafkan cobalah ingat kembali bahwa kita juga pernah melakukan kesalahan.























Komentar

Postingan Populer